PART 1
Berlin JERMAN, tiit tiiit tiit klakson Mercy dua pintu berwarna merah menghempaskanku ke bahu jalan. Hampir kepalaku remuk menghantam aspal. Aku tergesa-gesa pulang ke apartemen. Lari terbirit-birit seperti seorang karyawan yang hampir ketinggalan kereta.
XXXXXXXXXX
RUANG MEETING, Kriing-kriing kriing-kriing, Yakamoto menatapku sinis, keringatku menetes. Yakamoto adalah pengusaha Jepang yang hendak bekerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja. Van Bronkhost atasanku tertunduk menahan malu. Aku lupa mematikan telepon genggamku, bahkan nada deringnya masih diset dengan volume paling keras. Seperti biasa, malam sebelum tidur aku atur alarm Handphoneku dengan suara paling keras agar aku tak bangun kesiangan. Apalagi hari ini adalah hari penting bagiku, bahkan bagi perusahaanku.
I’m sorry for my mistake. Aku matikan handphoneku. Sial, hari pentingku hancur berantakan gara-gara handphoneku. Aku melanjutkan presentasiku. Semua kesalahanku terbayar dengan senyuman Yakamoto yang puas dengan sajianku. Jabat tangan ala jepang mengakhiri pertemuanku dengan pengusaha jepang itu.
Tegukan teh hangat mencairkan keteganganku, Bronkhost menjabat tanganku, ia bangga kepadaku. Sebagai ucapan terimakasihnya, aku mendapat bonus darinya.
“congratulation”, singkat, jelas, dan padat. Itulah gaya Bronkhost lelaki berdarah Belanda yang tak kenal basa-basi. Seketika aku ingat panggilan telepon yang hampir menghancurkan karirku. Aku nyalakan handphoneku, ku lihat panggilan tak terjawab, tertulis nomor telepon dari luar negeri. Kampung halamanku, Indonesia. Hah? Indonesia. Aku bingung, setelah 2 tahun di Jerman aku tak pernah mendapat panggilan telepon dari Indonesia, selalu aku yang menghubungi ibuku di sana. Tanpa berpikir panjang, aku langsung telepon nomor itu.
Tut tut tut. Suara berat menjawab panggilanku.
“Halo, Assalamu’alaikum, siapa ya?”.
Nada bicaranya terdengar sangat familiar di telingaku.
“Amir, kau rupanya yang hampir menghancurkan karirku, tahu dari mana kau nomor teleponku?”
“Alfa? My brother, apa kabar kau di sana?. Sombong sekali kau, tak pernah kau kabari aku. Aku tahu nomor teleponmu dari ibumu”
“bukannya aku sombong, tapi… nanti ku ceritakan kalau aku sudah pulang kerja”
“tunggu, ada kabar penting yang ingin ku sampaikan”
Laptop Toshiba aku tutup dan aku masukkan ke dalam tas. Aku berjalan setengah lari menelusuri meja-meja kerja di kantorku.
PART 2
Laptop Toshiba aku tutup dan aku masukkan ke dalam tas. Aku berjalan setengah lari menelusuri meja-meja kerja di kantorku.
Tot tok tok.
Tak ada jawaban, ku ketuk lagi pintu ruangan Bronkhost. Ku tarik gagang pintu stanlees.
Kreek…
Bronkhost sedang asyik mendengarkan musik dari laptopnya. Rupanya headset yang menempel di telinganya yang menghalangi suara ketukan pintu.
Dengan suara lantang aku sengaja memanggilnya dari balik pintu.
Mister, I’m sorry.
Bronkhost
terkesiap. Aku menceritakan tentang panggilan telepon dari sahabatku di
Indonesia. Mendengar ceritaku, dengan berat hati Bronkhost
mengijinkanku untuk cuti pulang ke Indonesia.
XXXXXXXXXX
APARTEMEN. Jantungku masih berdebar kencang akibat tragedi klakson Mercy
tadi. Aku mengemas pakaian ke dalam tas gendong kesayanganku yang ku
beli di pasar Tanah Abang, karena ku pikir perjalananku kali ini takkan
lama.
Jam Rolex di
tanganku menunjukkan pukul 10 pagi. Aku memasukkan visa ke dalam tas.
Tak lupa aku masukkan kalung setengah hati pemberian mantan kekasihku
dahulu. Kalung ini, semua kenangan itu, aakkhh lupakan… aku tak mungkin bertemu lagi dengannya.
PART 3
BANDARA XXX
JERMAN. Gemuruh pesawat memekang telingaku. Di dalam pesawat aku terus
memikirkan pembicaraan singkatku dengan Amir. Aku masih tak percaya
dengan perkataannya itu. Namun hati kecilku mempercayainya, karena aku
mengenalnya, sangat mengenalnya. Perjalanan Jerman-Indonesia tidaklah
singkat. Butuh waktu 5 jam di udara untuk sampai di bandara Soekarno-Hatta. Aku mengeluarkan Novel favoritku, tetralogi Laskar Pelangi. Kisah anak Belitong yang memiliki mimpi-mimpi besar, salah satunya adalah keliling Eropa-Afrika, dan akhirnya Ikal dan Arai
tokoh dalam novel itu kuliah di Universitas Indonesia. Kemudian mereka
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Negara tempat aku
bekerja sekarang, Jerman. Di sini ia berteman dengan mahasiswa lainnya
dengan berbagai macam sifat dan watak. Kemudian klimaks dari cerita
tersebut adalah ketika niat mereka untuk menjamah Eropa-Afrika diikuti
oleh teman-temannya. Ikal keliling Eropa-Afrika bukan sekedar
jalan-jalan mengisi liburan musim panasnya, namun ia juga mencari wanita
pujaan hatinya yang telah lama berpisah dengannya, A Ling.
XXXXXXXXXX
BANDARA
SOEKARNO-HATTA. Udara pagi yang ku hirup kali ini berbeda seperti
biasanya. Awan tebal menutupi sinar matahari di landasan pesawat. Aku
turun dari pesawat sambil menggendong tas kesayanganku. Aku berjalan
menuju ruang penjemputan. Aku melihat jam di tanganku. Kemudian aku
mengaturnya dengan jam yang menempel di dingding ruang itu. Setengah jam
berlalu, akhirnya aku mendengar teriakan yang sangat familiar dari arah
belakang.
Alfa, my brother maaf aku terlambat.
Sambil
berjalan kami berbincang sebentar melepas kerinduan. Kami menelusuri
koridor Bandara menuju area parkir. Tak kusangka Amir yang ku kenal
pemalas ternyata ia telah menemukan kesuksesannya. Amir mengeluarkan
kunci mobilnya dari dalam saku celana. Dengan satu sentuhan, kunci
otomatis mobilnya terbuka.
Pek pek
Aku
terkejut setelah melihat mobil yang ia gunakan untuk menjemputku.
Ternyata mobilnya sama persis seperti mobil yang hampir menabrakku
kemarin pagi, Mercy dua pintu berwarna merah.
PART 4
Institut
Pertanian Bogor. Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB). MPKMB
adalah salah satu program perkuliahan bagi mahasiswa baru. Pagi itu aku
dan mahasiswa baru lainnnya dikumpulkan di sebuah lapangan. Kemudian
kami masuk ke dalam salah satu aula. Di aula itu untuk pertama kalinya
aku bertemu dengan sosok wanita yang menarik perhatianku. Aku tertarik
padanya, tatapannya, senyumannya, aku benar-benar tertarik pada wanita
itu. Dia adalah salah satu temanku satu jurusan, yaitu Program Keahlian
Analisis Kimia atau sering disingkat “Ankim”.
Acara
dimulai. Dua orang kakak senior berpakaian rapi layaknya seorang
pembicara di sebuah seminar. Yang pria mengenakan kemeja putih lengan
panjang yang dilapisi jas hitam garis-garis putih. Celananya berwarna
hitam mengkilat terbuat dari bahan sutra yang halus. Semakin bawah,
sepatu pantopel hitamnya menkilap memantulkan cahaya lampu aula itu.
Yang wanita mengenakan dres berwarna kuning yang dilapisi blazer hijau
toska. Sepatu high heels setinggi 10 cm semakin memperindah kakinya yang
mulus. Rambut hitamnya diikat kebelakang, memperlihatkan lehernya yang
menjadi penyeimbang antara pikiran dan perasaan. Benda yang menggantung
di daun telinganya semakin memperkuat kecantikan bola matanya.
Setelah
memperkenalkan diri, mereka mulai membuka acara dengan sambutan dan
yel-yel yang cukup menggelikan telingaku. Mereka pun mangucapkan selamat
datang kepada kami para mahasiswa baru. Dan kemudian, secara bersamaan
mereka memanggil sebuah nama
Profesor doktor insinyur Zairin Junior M.Sc
Dengan
serentak para dosen berdiri sambil bertepuk tangan yang diikuti dengan
para mahasiswa lainnya. Gelar yang dimiliki beliau tidak menutupi
kesederhanaan dan terpancar sosok yang berwibawa. Beliau memperkenalkan
diri dan menceritakan sedikit perjuangan hidupnya. Beliau adalah salah
satu dosen di IPB program sarjana, dan beliau pula yang mencetuskan
didirikannya IPB program Diploma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar